Rakyat Merdeka — Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengatakan negaranya tidak akan menerima vaksin corona yang tidak disertifikasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kamboja bukan tempat sampah dan bukan tempat untuk uji coba vaksin,” ujarnya dikutip dari Nikkei Asia merujuk pada kesepakatan antara Kamboja dan China terkait kerja sama vaksin Sinovac.
Pernyataan itu nampaknya akan mengabaikan kesepakatan awal beberapa bulan lalu antara Kamboja dan China, di mana Phnom Penh akan menerima vaksin Sinovac dari Beijing.
Tapi sejauh ini, WHO belum menyetujui kandidat vaksin Covid-19 mana pun, termasuk Sinovac.
Hingga saat ini, belum diketahui data keamanan dan efikasi (kemanjuran) dari uji klinis tahap ketiga vaksin Sinovac. Hal ini berbeda dari Pfizer yang telah mengeluarkan data efikasi yaitu 90 persen efektif, dan Moderna dengan klaim tingkat efektifitas hingga 94,5 persen.
Dilansir Nikkei Asia, China disebut telah berjanji untuk mendukung upaya vaksin Covid-19 di Kamboja selaku sekutu terdekat di kawasan.
Pada Agustus, Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan kepada negara-negara Mekong bahwa mereka akan diberikan prioritas setelah vaksin yang dikembangkan China siap digunakan.
Hal ini turut digaungkan oleh Menteri Luar Negeri Wang Yi saat berkunjung ke Kamboja pada Oktober.
Tapi The Khmer Times pada Senin melaporkan bahwa duta besar China di Kamboja telah melakukan kontak dengan pemerintah tentang potensi distribusi vaksin buatan China.
Sen mengatakan pihaknya telah memesan stok vaksin melalui program fasilitas COVAX yang didukung Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Program ini bertujuan mensubsidi vaksin bagi 92 negara di dunia yang berpenghasilan rendah.
Program yang dijalankan oleh Aliansi Vaksin Gavi tersebut akan memberikan dukungan bagi negara-negara miskin untuk memperoleh vaksin bagi 20 persen populasi mereka.
Secara keseluruhan, Sen mengatakan pemerintahnya berharap bisa memperoleh 26 juta dosis untuk memvaksinasi 13 juta dari 16 juta warganya secara gratis.
Perwakilan Kamboja di WHO, Li Ailan mengatakan kepada media lokal bahwa dia berharap vaksin akan tersedia di Kamboja pada awal 2021 atau pertengahan tahun.
Hun Sen mengatakan pemerintah akan mengalokasikan $100 juta hingga $200 juta untuk menebus vaksin. Pemerintah juga telah menerima lebih dari $48 juta sumbangan dari sekitar 38 ribu orang.
Tapi sumbangan tersebut menuai kritik dari beberapa analis, mengingat beberapa donatur utama datang dari taipan lokal yang sangat kaya (Oknha).
Menurut analis, daftar donatur utama merupakan contoh ilustrasi dari jaringan patronasi yang menopang kekayaan dan kekuasaan di negara itu.
Kontribusi semacam itu adalah hal yang lazim dalam sistem patronasi Kamboja. Sistemnya, para elite menjilat dengan menyalurkan uang tunai ke organisasi kemanusiaan yang terkait dengan perdana menteri dan Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang berkuasa, seperti Palang Merah kamboja yang dijalankan oleh istri Hun Sen.
CPP kemudian mendistribusikan bantuan dan dana proyek itu sebagai hadiah dari partai.
“Donasi semacam ini mendukung upaya mempolitisasi pemberian layanan dan pendekatan pemerintah terhadap perlindungan sosial,” kata peneliti di Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, Neil Lounghlin.
“Sebagai imbalannya, para pelaku bisnis ini telah diberikan kesempatan untuk menghasilkan kekayaan melalui kontrak dan izin negara untuk menjalankan bisnis yang menguntungkan, beberapa di antaranya sangat kontroversial,” ujar dia.
Tapi Hunsen, dalam pidatonya pada Selasa (15/12), mengecam kritik atas penggalangan dana tersebut dengan menyebutnya sebagai “penghinaan” bagi semua warga Kamboja.
“Jangan meremehkan kemurahan hati masyarakat Kamboja terkait pembelian vaksin COVID-19. Kontribusi mereka murni sukarela,” ujarnya.
Namun, Sophal Ear, profesor diplomasi dan urusan dunia di Occidental College di Los Angeles, menyebut praktik itu “feodal”.
“Dari mana Oknha mendapatkan uang mereka? Dari siapa lagi, selain rakyat, melalui kesepakatan monopoli dan konsesi curang yang telah mendongkrak harga segala sesuatu di Kamboja,” katanya.
Menurut Bank Dunia, pengeluaran pemerintah Kamboja untuk perawatan kesehatan termasuk yang terendah di kawasan, sementara penduduknya harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkan akses kesehatan.
Meski begitu, Kamboja tetap berada dalam posisi yang patut ditiru. Negara itu hanya mencatat 362 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi dan tidak ada kematian.
Efikasi Sinovac
Indonesia dan Brasil menjadi negara yang turut memesan vaksin Sivovac. Bahkan pengiriman pertama Sinovac telah tiba di Indonesia pada pekan lalu.
Namun, pada Selasa (8/12), Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan belum ada rilis yang melaporkan efikasi atau hasil uji klinis dari vaksin Sinovac.
“Sampai saat ini belum ada rilis terkait dengan efikasi atau hasil uji klinis. Mau efikasi atauinhomogeneity, jadi efektivitas itu belum ada yang disampaikan tim klinis karena nanti hasil uji klinis ini akan dilaporkan oleh tim uji klinis vaksin covid-19 kepada BPOM,” katanya.
Dia mengatakan data interim akan disampaikan kepada BPOM pada Januari mendatang untuk mendapatkan skema penggunaan vaksin dalam keadaan darurat (emergency authorisation use).
Dalam keadaan normal, izin baru bisa diberikan dalam tahap akhir uji klinis yang biasanya memakan waktu hingga 6 bulan. Namun, mengikuti aturan WHO, BPOM diperbolehkan memberi izin pemakaian dalam uji klinis ‘kilat’.
Sementara di Brasil, negara bagian Sao Paulo pada Senin (14/12) telah menunda penerbitan laporan data kemanjuran vaksin Sinovac. Data akan dirilis pada Rabu (23/12), lebih lambat delapan hari dari yang direncanakan.
Penundaan tersebut muncul setelah lembaga kesehatan Brasil, Anvisa, menuduh Sinovac menggunakan kriteria yang “tidak transparan” untuk mendapatkan persetujuan darurat atas vaksin CoronaVac.
“Kriteria China yang diterapkan untuk memberikan otorisasi penggunaan darurat di China tidak transparan,” kata Anvisa dalam sebuah pernyataan.
Sejauh ini, Anvisa belum menyetujui vaksin Covid-19 apa pun untuk penggunaan massal.