RAKYAT MERDEKA — Terkait dugaan tindakan nepotisme, Presiden Joko Widodo digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Melansir berkas gugatan yang di laman resmi PTUN Jakarta, gugatan tersebut dilayangkan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang diregister dengan nomor 11/G/TF/2024/PTUN.JKT, Jumat 12 Januari 2024.
Bukan hanya Jokowi, Koordinator TPDI Petrus Selestinus juga turut menggugat Ketua MK sekaligus adik ipar Jokowi, Anwar Usman. Lalu, Gibran Rakabuming Raka, Boby Afif Nasution, Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan KPU.
“Pengadilan kan penegak hukum juga. Itu kan gugatan, bukan laporan, tapi gugatan. Nepotisme, dinasti itu sudah dilarang dalam Tap MPR No.XI/1998 dan UU nomor 28 tahun 1999,” ujar Petrus, dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (15/1).
Tuntutan dalam gugatan ini yakni, meminta PTUN Jakarta menyatakan nepotisme dinasti politik sebagai perbuatan melawan hukum atau sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh UU dan harus dihentikan.
Selain itu, dia juga meminta keputusan KPU yang menetapkan pasangan capres dan cawapres atas nama Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka cacat hukum, tidak sah dan dibatalkan.
Menurut Petrus, dugaan nepotisme yang dilakukan Jokowi sudah berkembang sangat cepat. Dia menilai dugaan ini akan menjadi ancaman serius terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, kondisi ini menandakan bangunan Reformasi yang dibangun selama 25 tahun runtuh oleh dugaan nepotisme dalam waktu satu tahun terakhir.
“Nepotisme dinasti politik Jokowi saat ini tidak hanya menguasai supra struktur politik di eksekutif dan legislatif, akan tetapi juga menguasai, bahkan menyandera lembaga yudikatif yakni MK selaku pelaksana kekuasaan kehakiman, ketika Anwar Usman Ketua MK saat itu menjadi ipar Presiden Jokowi,” ujarnya.
Petrus yakin, apabila nepotisme dibiarkan berkembang ke seluruh fungsi kekuasaan, kedaulatan rakyat akan bergeser menjadi kedaulatan nepotisme dinasti Jokowi. Sehingga, ia merasa saat ini demokrasi yang terjadi tergolong ‘demokrasi seolah-olah’.
“Jika itu yang terjadi, maka kita sesungguhnya telah kembali kepada sistem hegemoni kekuasaan politik di-era orde baru, era dimana terjadinya pemusatan kekuasaan,” katanya.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menuturkan Kementerian Sekretariat Negara belum menerima salinan gugatan tersebut.
Oleh krena itu, ia belum bisa mengomentari lebih lanjut terkait substansi gugatan tersebut.
“Kita serahkan saja ke PTUN untuk menilai apakah ini murni gugatan Tata Usaha Negara, atau gugatan yang bermuatan politis menjelang Pemilu 2024,” kata Ari lewat pesan singkat, Senin.