Rakyat Merdeka — Pemerkosaan dilaporkan terjadi di wilayah Tigray, utara Etiopia yang berkonflik, menurut kementerian seperti dikutip Associated Press (AP), Jumat (12/2/2021).
Dalam pengakuan langka, Menteri untuk Wanita Etiopia, Filsan Abdullahi Ahmed mengatakan bahwa pemerkosaan telah terjadi dengan pasti dan tanpa diragukan lagi selama 100 hari pertempuran di Tigray.
Pernyataan itu dikeluarkan pada Kamis malam, setelah satuan tugas yang menyelidiki laporan kekerasan seksual di wilayah berpenduduk sekitar 6 juta orang itu berkunjung.
“Kami menunggu penyelidikan atas kejahatan mengerikan ini,” kata Filsan, menambahkan bahwa tim dari kejaksaan sedang memproses informasi tersebut.
Dia tidak mengatakan berapa banyak laporan pemerkosaan yang dikumpulkan anggota satuan tugas atau bagian mana dari wilayah Tigray yang mereka kunjungi. Adapun seorang juru bicara kejaksaan tidak segera menanggapi pertanyaan tersebut.
Pernyataan menteri itu muncul beberapa jam setelah Komisi Hak Asasi Manusia Etiopia dalam sebuah laporan baru mengatakan 108 pemerkosaan telah dilaporkan ke fasilitas kesehatan dalam dua bulan terakhir di ibu kota Tigray, Mekele, dan komunitas Adigrat, Wukro dan Ayder.
Laporan itu mengatakan bahwa struktur aparat lokal seperti kepolisian dan fasilitas kesehatan di mana korban kekerasan seksual biasa mengadu sudah tidak ada lagi.
“Oleh karenanya, kemungkinan jumlah kasus [pemerkosaan] sebenarnya lebih tinggi dan lebih luas daripada yang dilaporkan.”
Beberapa saksi memberi tahu AP tentang dugaan pemerkosaan oleh tentara Etiopia atau orang-orang dari negara tetangga Eritrea, musuh para pemimpin buronan Tigray dan yang kehadirannya dibantah oleh pemerintah Etiopia.
Bulan lalu perwakilan khusus PBB untuk kekerasan seksual dalam konflik Tigray mengatakan “tuduhan serius atas kekerasan seksual” telah muncul di Tigray.
Sementara saat ini para perempuan dan anak-anak perempuan menghadapi kekurangan alat deteksi pemerkosaan (rape kit) dan obat-obatan HIV di tengah pembatasan akses kemanusiaan.
Bahkan ada juga laporan PBB berdasarkan keterangan aktivis wanita Pramila Patten bahwa beberapa orang diduga dipaksa memperkosa anggota keluarga mereka sendiri dengan ancaman tertentu.
“Beberapa wanita juga dilaporkan telah dipaksa oleh anggota militer untuk berhubungan seks dengan imbalan bahan pokok, sementara pusat kesehatan telah mengindikasikan peningkatan dalam permintaan kontrasepsi darurat dan pengujian untuk infeksi menular seksual.”